Lemahnya Aturan IPHPS Berpotensi Timbulkan Mispersepsi

08-03-2019 / B.A.K.N.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Willgo Zainar. Foto: Arief/rni

 

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Willgo Zainar berharap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melihat lebih dekat lagi permasalahan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) di Kabupaten Boyolali. Agar ke depannya tidak timbul permasalahan akibat lemahnya peraturan-peraturan yang berpotensi menimbulkan mispersepsi pada masyarakat, bahwa seolah lahan hutan itu menjadi hak miliknya.

 

“Maksud dan tujuan program ini bagus, tetapi kalau peraturannya tidak tertib dan tidak rapi, maka akan menimbulkan konflik sosial di masyarakat di masa yang akan datang,” kata Willgo usai memimpin pertemuan antara Tim Kunjungan Kerja BAKN DPR RI dengan jajaran BPK RI di Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (06/3/2019).

 

Dalam pertemuan itu, BAKN DPR RI menerima sejumlah masukan dari BPK RI, terkait hasil pemeriksaan BPK RI terhadap pelaksanaan IPHPS di Boyolali. Dari hasil pemeriksaan BPK RI itu, menjadi pintu masuk bagi BAKN DPR RI untuk menelisik kembali aturan yang menjadi payung hukum pelaksanaan IPHPS, baik dari sisi peraturan pemerintah, peraturan menteri dan peraturan terkait lainnya.

 

“Kita banyak mendapat masukan dari BPK. Seperti beberapa permasalahan yang kita lihat  ke depan nanti akan menjadi dispute (perselisihan, RED) antara Perhutani dengan rakyat. Karena bagaimanapun pengelolaan perhutanan itu sebetulnya diserahkan kepada Perhutani tetapi ada sebagian kemudian yang dikelola oleh rakyat,” jelas politisi Partai Gerindra itu.

 

Willgo memastikan, pihaknya dalam waktu dekat akan mengundang beberapa pihak terkait permasalahan IPHPS ini, seperti Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Perum Perhutani, dan juga Komisi yang terkait kehutanan dan lingkungan hidup, yakni Komisi IV DPR RI dan Komisi VII DPR RI. BAKN DPR RI perlu melakukan sinkronisasi terhadap peraturan perundangan dan peraturan menteri yang berlaku.

 

“Dasar hukumnya tidak kuat, karena dalam jangka panjang selama 35 tahun itu masing-masing keluarga mendapatkan 2 hektar, dan ini bisa diwariskan. Saya kira ini suatu perizinan atau kontrak yang panjang. Nantinya dikhawatirkan generasi yang di bawahnya, mungkin ahli waris dan sebagainya, akan timbul potensi permasalahan antara negara dengan rakyatnya,” pesan legislator dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu. (afr/sf)

BERITA TERKAIT
Dukung Swasembada dan ROA 1,5 Persen di 2025, Aset Idle Perhutani Harus Dioptimalkan
22-08-2025 / B.A.K.N.
PARLEMENTARIA, Bogor –Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Sohibul Imam, menekankan pentingnya seluruh BUMN...
Herman Khaeron: Kerja Sama Perhutani Harus Transparan, Banyak Kawasan Tak Beri Benefit
21-08-2025 / B.A.K.N.
PARLEMENTARIA, Bogor –Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Negara (BAKN) DPR RI, Herman Khaeron, menegaskan kunjungan kerja BAKN ke kawasan Perhutani Sentul,...
BAKN DPR RI Desak Perhutani Perbaiki Tata Kelola, Tindaklanjuti Temuan BPK
21-08-2025 / B.A.K.N.
PARLEMENTARIA, Bogor – Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI melakukan Kunjungan Kerja Spesifik ke Perum Perhutani di Sentul, Bogor,...
Arjuni Sakir Ungkap Potensi Bias Pemeriksaan dalam Proses Penilaian Profesional BPKP
23-07-2025 / B.A.K.N.
PARLEMENTARIA, Jakarta - Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Badan Pemeriksaan Keuangan dan...